Tuesday, July 19, 2016

Nasehat Bijak tentang Menemukan Bakat


Siang itu, saya sedang menunggui motor saya yang tengah diservis di sebuah bengkel. Suasana bengkel tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang mengantri, termasuk saya. Saat saya mengantri, seorang perempuan dengan sepeda motornya mendatangi bengkel itu. Saya mengamati perempuan itu. Tubuhnya tidak setinggi perempuan lain seusianya. Saya membatin, perempuan itu mungkin mengidap dwarfisme, semacam gangguan hormonal pada tubuh yang mengakibatkan penderitanya tidak bisa tumbuh tinggi layaknya orang normal.

Sesaat setelah memarkir motornya, perempuan itu bergegas mendatangi meja resepsionis. Setelahnya, perempuan itu mengambil tempat duduk di sebelah saya. Awalnya, saya merasa agak canggung karena tidak biasa menghadapi fisiknya yang “berbeda”. Tapi melihat rona wajahnya, saya mulai berpikir bahwa perempuan itu adalah tipe orang yang ramah dan mudah bergaul.

Dugaan saya pun terbukti. Selang beberapa menit, saya dan perempuan itu sudah terlihat mengobrol. Dalam percakapan itu, saya memanggilnya “Mbak.”* Topik obrolan kami tidak jauh dari kuliah dan masalah akademis. Dari penuturannya, Mbak ini ternyata adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Jika saya tidak salah ingat, dia kuliah di jurusan sastra. Begitu mendengar ceritanya, mau tak mau saya pun takjub.

Mbak berkata bahwa fisik bukanlah hambatan bagi kita untuk meraih sukses. Tubuhnya memang “berbeda”, namun Mbak tetap menjaga api semangatnya dan berusaha membuktikan kemampuannya. Umumnya, ketika seseorang dihadapkan pada keterbatasan tertentu—misalnya keterbatasan fisik—orang itu cenderung mengeluh dan merasa sudah tidak memiliki masa depan lagi. Pada kasus Mbak, tubuh kecilnya mungkin akan membuat orang memandangnya dengan sebelah mata. Mbak tidak dipercaya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sulit, betapapun hebatnya Mbak. Orang mungkin akan tetap meremehkannya. Tapi, Mbak berusaha menepis semua anggapan itu dan membuktikan bahwa dirinya bisa belajar sampai perguruan tinggi.

Di sela percakapan itu, Mbak menasehati saya:

Kerjakanlah pekerjaanmu sebaik-baiknya! Dengan begitu, kelak kau akan tahu di mana letak kelebihanmu.

DEG! Nasihat itu terasa menampar saya. Saat itu, saya memang tengah gelisah karena saya pun menjalani hidup sebagai “orang yang berbeda”—sama halnya dengan Mbak. Mendengar nasihat itu, saya merasa telah menemukan pelajaran yang sangat berharga. 

Dulu, saat saya sekolah, saya gelisah karena tak kunjung menemukan bakat. Di satu sisi, saya iri melihat teman-teman saya sudah mulai sibuk dengan bakat masing-masing. Saya iri melihat teman-teman saya yang mahir bermain musik. Saya iri melihat teman-teman saya yang jago matematika. Saya berpikir, betapa beruntungnya mereka bisa menemukan bakatnya—sementara saya masih luntang-luntung tidak jelas karena saya tidak memiliki kelebihan apapun.

Kegelisahan saya sudah bermula sejak masuk SMP. Demi menuruti rasa iri saya pada teman-teman, saya pun ‘kalap’ dan mencoba mengikuti banyak kegiatan (ekskul). Saya pernah mengikuti ekskul basket, tapi kemudian gagal karena memang tinggi badan saya tidak compatible

Saya pun beralih menekuni dunia musik karena berpikir cowok yang pintar main musik itu keren. Saat itu, instrumen yang saya pilih adalah gitar. Saya mencoba membeli gitar dan mempelajari teknik-teknik dasarnya. Tapi hingga saya menuliskan catatan ini, skill saya hanya bisa mentok di strumming (genjrengan) kunci dasar. #ironis

Gagal dalam dua bidang membuat saya mencari pelarian. Saya pun mengikuti ekskul jurnalistik. Ya, ekskul yang isinya belajar nulis dan membuat majalah dinding. Saya pikir, mungkin dari sana saya akan menemukan sesuatu. 

Di ekskul itu, saya mulai merasa nyaman. Saya menemukan dunia di mana saya tidak harus memakai kelebihan fisik untuk berkembang. Sejak sat itu, muncul angan-angan dalam diri saya bahwa “menulis adalah kelebihan saya”. Menulis adalah pelarian yang selama ini saya cari. Karenanya, sejak sekolah menengah saya pun mencoba belajar blog—meski pada prakteknya saya hanya seumur jagung mengurusnya. (Maklum, saat itu koneksi internet masih cukup mahal dan saya belum punya laptop sendiri untuk menulis).

Ngomong-ngomong, perjalanan saya di ekskul jurnalistik tidak mulus-mulus amat. Kenyataan bahwa saya adalah satu-satunya lelaki yang ada di ekskul itu membuat saya harus bermuka tebal di sana. Padahal, saya punya sindrom “gugup ketika berhadapan dengan wanita”.

Tapi saya bersyukur karena dari ekskul jurnalistik saya bisa mengembangkan kemampuan menulis. Sayangnya, karena saya tidak konsisten menulis, kemampuan saya tidak berkembang. Saya mengalami stagnansi, sampai akhirnya ketika kuliah saya baru menemukan kembali minat menulis dan membuat blog lagi (blog saya yang lama bisa dilihat di sini). Sementara itu, perjalanan saya dalam mencari “kelebihan” masih terus berproses sampai saya menulis catatan ini.

*   *   *

Boleh jadi kalian juga mengalami kegelisahan seperti saya karena tidak memiliki bakat khusus. Saat remaja, kita berangan-angan memiliki bakat yang bisa dibanggakan di hadapan teman-teman. Saat beranjak dewasa, kita ingin mentransformasikan bakat itu sebagai sebuah “kelebihan” untuk menolong orang banyak. Kita pun mencari kelebihan itu dengan tekun belajar, aktif di organisasi, mengikuti kegiatan ekskul, dan banyak membaca buku sesuai minat kita. Namun kenyataannya, seringkali bakat atau “kelebihan” yang kita cari belum juga tampak.

Kerjakanlah pekerjaanmu sebaik-baiknya!
Dengan begitu, kelak kau akan tahu di mana letak kelebihanmu.

Ya, mengerjakan aktivitas apapun dengan sebaik-baiknya adalah pilihan logis untuk menemukan “kelebihan” dalam diri kita. Nasihat Mbak mengajarkan kita bahwa untuk sampai pada sebuah pencapaian prestisius, kita harus berfokus pada prosesnyaMengerjakan suatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya adalah formulasi terbaik agar kita tahu di mana minat kita dan peran yang bisa kita emban dalam kehidupan ini.

Ironisnya, sebagian kita memilih pasrah pada takdir. Kita membiarkan diri kita didikte oleh lingkungan dan keputusan orang lain. Ketika kita mendapat nasib baik, kita menganggapnya keberuntungan. Tapi ketika kita mendapat nasib buruk, maka kita menyebutnya kemalangan dan kegagalan.

Padahal, sejujurnya, kitalah yang menganiaya diri kita sendiri. Boleh jadi, kita pula yang tidak mau berupaya mengubah keadaan. Kita terlalu lemah dan bersikap cemen saat menemui kegagalan. Betapa pun sulitnya kondisi kita, semesta sudah menyediakan segala sumber daya bagi kita untuk mengubah nasib.

Keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan, bukanlah lotre yang bisa kita dapatkan secara cuma-cuma. Kita memiliki kuasa dan sumber daya untuk mencapai semua itu. Terkadang, keberuntungan memang hadir dan mengubah drastis nasib seseorang. Namun keberuntungan hanya akan menghampiri mereka yang siap menjemputnya dan sibuk berusaha!

Sebagai contoh, orang mungkin berpikir Bill Gates adalah orang paling “beruntung” di dunia. Lha wong kuliah saja nggak selesai, kok bisa jadi orang paling kaya seplanet Bumi. Dalam hal ini, kita mungkin lupa, bahwa apa yang kita sebut “keberuntungan” itu, bisa diraih Bill Gates karena kerja keras dan inovasinya yang tiada henti. Kita mengabaikan fakta bahwa Bill Gates hanya tidur 8 jam dalam seminggu saat mengambangkan Windows untuk pertama kalinya.

“Kerjakanlah pekerjaanmu sebaik-baiknya!
Dengan begitu, kelak kau akan tahu di mana letak kelebihanmu.”

Selagi kita masih muda, ada baiknya kita mempelajari banyak hal. Kita bisa memulai dari hal-hal yang kita suka, seperti hobi atau kegiatan lain yang menurut kita menyenangkan dan bermanfaat. Betapapun kita memiliki kekurangan dan keterbatasan, kita tidak boleh menyerah dan berhenti belajar, karena belajar adalah proses seumur hidup.

Kerjakanlah pekerjaan apapun dengan sebaik-baiknya, hingga kelak kita menyadari kelebihan kita. Semoga dengan kelebihan itu, kita bisa mengambil peran penting dalam kehidupan ini dan bertransformasi menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Karena yakinlah, Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk menjalani kehidupan yang sia-sia. []


* Pertemuan saya dengan Mbak terjadi 2 atau 3 tahun yang lalu. Saya tidak begitu ingat ucapan persisnya. Namun intinya kurang lebih sama dengan apa yang saya tuliskan. Sampai saat ini saya tidak tahu siapa persisnya Mbak yang saya temui di bengkel itu. Selama bercakap-cakap dengannya, saya hanya memanggilnya dengan kata sapaan “Mbak”. Dan memang hanya “Mbak”, tanpa tambahan nama di belakangnya. Semoga Tuhan memberkati usianya dan membantunya meraih impian-impiannya. Aamiin...